Violence berjamaah – potret moral bangsa di masa depan. Akankah?


Belakangan ini santer terdengar kabar kasus pengeroyokan wartawan yang dilakukan oleh salah satu sekolah berpredikat “negeri” di daerah Jakarta, tepatnya kalau saya tidak salah dengar itu berada di daerah bulungan. *maklumlah, ane bukan orang sono,,plus ane juga kejakarta Cuma 3 kali doank


Aksi yang dipicu kemarahan yang katanya mungkin pelajar2 tersebut merasa “malu” karena aksi adu ilmu kanuragan kebal bacok mereka dengan sekolah lain terekam oleh kamera wartawan salah satu tv swasta. Alhasil, katanya, digebukin-lah wartawan tersebut + kasetnya diambil dan hingga kini entah di pungut oleh pemulung mana.

Lanjutannya, para wartawan yang merasa perlu meminta “klarivikasi” dari pihak sekolah mengenai kejadian itu menghubungi pihak sekolah yang ditanggapi dengan penuh rasa tanggung jawab(sarkasme.red) bahwa itu bukan tanggung jawab sekolah karena itu terjadi diluar pagar dan jam sekolah. Akhirnya, wartawan2 tersebut menggelar aksi damai didepan sekolah. Aksi damai, tanpa alat2 dapur, tanpa alat2 kebun, tanpa alat2 bengkel, dan bahkan katanya lagi tanpa TOA alias pengoar suara. Dan, yang terjadi dan terekam kamera adalah latihan kumite missal dengan jurus “pokok tak gepuk, aku mbati”.

Yah nampaknya sinopsis peristiwa nyata diatas sedikit membenarkan riset yang entah siapa atau badan riset mana yang melakukannya, yang hasil riset itu mengindikasikan bahwa 30% warga Indonesia mengalami gangguan kejiwaan. Terlepas dari hasil riset yang ke-velid-an nya saya tidak tahu karena bahkan saya ga bisa nge-riset, saya lebih condong meng-iyakan ucapan praktisi pendidikan terkemuka di neeri ini yang saya kagumi yaitu bapak arif rahman hakim yang kalo saya tidak salah dengar bahwa ini adalah bentuk “kekurangan” dari pendidikan di negeri pengekspor manusia ini. Kekurangan disini menurut beliau adalah kurang perhatian dalam pembentukan moral pelajar baik oleh sekolah maupun oleh lingkungan dan keluarga.
Nah, menyambung dari verbal violence (Yelling to children-think twice before you do it!) yang saya sebutkan pada postingan sebelum ini, bahwa

Parent should be the role model for their children

Loh? Mereka kan udah bukan children lagi? Mereka kan udah remaja? Eit, lantas mereka jadi seperti itu karena siapa? Karena pergaulannya? Oke, kita bisa nyalahin pergaulan, tapi inget, merupakan tugas orang tua untuk njaga pergaulan anaknya. Menjaga disini bukan berarti ngawasin dengan gelagat overprotective yang ujung2nya bikin anak jadi tambah pengen rebel, namun dengan membiasakan menanamkan nilai2 hakiki manusia seharusnya sesuai dengan norma agama,kesusilaan,social, dan norma hukum yang sedang berlaku disekitarkita. Inget ya, ditanamkan bukan berarti kita melakukan ceramah mingguan dan spoon feeding setiap kali kita ngobrol n bertemu mereka karena yang ada mereka bakalan menulis tanda “silahkan masuk dan keluar lewat pintu sebelah kanan” pada telinga kiri mereka. Menanamkan berarti meyakinkan mereka bahwa norma2 itu benar adanya untuk menjaga kelangsungan “damai” di kehidupan mereka. Dan sungguh itu bakal sulit terjadi kalo dimana mana mereka liat orang2 yang berpredikat lebih “dewasa” dari mereka bahkan aki-aki bau tanah pada bentrok gara2 rebutan tanah yang bahkan ga dibawa mati. Lantas bagaimana mereka ga bakal meniru hal tersebut dalam menyelesaikan masalah mereka?

Tentang para golongan “dewasa” yang bentrok karena harta seperti saya sebutin diatas, Saya paham dan mengerti terhadap kesusahan ekonomi, karena saya sendiri juga pernah mengalaminya. Tapi kan bisa dibicarakan baik2 kan? Bisa…pasti bisa… ga mungkin tuhan ngasih solusi “dah sono lu bentrok aja gih ntar yang menang yang dapet”. Nah loh, yakinkah anda tuhan bakal kayak gitu? Kalo anda yakin,berarti anda menyamakan tuhan dengan anda, jadi mending ga usah disembah aja, beres.titik bukan koma. Tapi kenyataanya tuhan selalu ngasih kita jalan yang baik, Cuma kitanya aja yang sudah terhangatkan oleh gejolak darah dan nafsu memukul yang kuat.

SELALU ADA JALAN YANG BAIK

2 paragraf diatas itu kalo kita bertanya “siapa yang salah dan harus gimana menurut saya(penulis)”
Lantas, bagaimana menghilangkan budaya arogan yang berlebihan mengingat tingkat “mudah marah” dan “ekspresi marah” yang berlebihan itu katanya salah satu gejala awal schizophrenia a.k.a. ge-i=Gi – el-a=La ; Gila?

Orang tua saya pernah mengingatkan saya, 1 kali aja ngingetin saya dan sampe sekarang saya pegang (Alhamdulillah ya…mereka emang sesuatu banget,,, JJJ), bahwa manusia itu hayyawan natiq, hewan yang berakal. Disini saya ga bilang saya, anda, mereka, dia, kita, dan kata ganti kata ganti orang yang lain itu adalah hewan; semuanya manusia. Tapi, manusia itu hanya benar benar jadi manusia sejati jika mereka menggunakan natiq-nya untuk bisa mengontrol hayyawan-nya. Hal ini diperkuat dengan pernyataan guru saya bahwa siapa yang menggunakan ototnya terlebih dahulu untuk menyelesaikan masalah ketimbang menggunakan otaknya, niscaya dia adalah orang yang kalah dalam hidup, hidup disini saya artikan sendiri sebagai hidup sebagai manusia. Dan teman2 pembaca pasti bisa melihat contohnya, gimana buasnya hewan itu kalo menyelesaikan masalahnya yang bahkan Cuma rebutan pohon yang notabene ga satu satunya di dunia ini.

Begitu juga dengan manusia, kalo dia udah mulai pakek otot dan ditambah dengan gejala schizophrenia tadi sebagai pemanas ruangan, berarti dia udah bukan hayyawan natiq lagi, tapi sudah jadi hayyawan yang kehilangan natiq. Saya rasa temen2 bisa mengartikan sendiri lah kalo natiq nya ilang jadinya apa. Dan sungguh saya tidak ingin kelak bangsa ini dihuni oleh sekumpulan-jutaan-hayyawan yang hilang natiq nya. Karena jika itu terjadi sungguh saya tidak bisa menyalahkan kalau banyak yang akan menggadaikan nasionalismenya dan berpindah kenegara lain yang lebih “beradab”. Tapi saya yakin, bangsa ini masih hidup, masih punya kesempatan.

semua ada jalan keluarnya dan selalu ada jalan yang baik, tuhan selalu kasih dan buka kesempatan dengan lebar gerbang kasih sayangnya buat yang mau melihat-mendengar-dan berpikir tentang jalan itu

buka mata, lihatlah
buka telinga, dengarkanlah
tarik nafas, rasakan baunya
pikirkan, temukanlah jalannya
tanamkanlah dalam asa
 sesungguhnya jalan itu ada
dan itu selalu terbuka

 
sumber                                                                                              
lebih baik daripada

  sumber

Komentar

  1. Saya kira saya tak bisa lagi menangis karena sedih. Hanya kemarahan yang membuat saya keluar air mata #gie

    Gak akan ada habisnya bahas ginian.
    Indonesiaku... ahh -___-

    Nice share :)

    BalasHapus
  2. mumpung belum pada bosen chank... ayo dibangun dari lingkungan terdekat dan diri kita sendiri... saya, anda, keluarga semua...

    BalasHapus
  3. baca ini, tiba2 membuat saya ingat postingan saya yang ini. kaum muda selalu saja mudah terprovokasi. padahal mereka juga aset berharga yg punya kans besar merubah bangsa. miris yaahhh..

    BalasHapus
  4. kalo dulu yang kepikiran memprovokasi dan bertindak kasar sama wartawan mungkin kalo ga aparat pemerintahan mungkin (oknum) polisi atau angkatan...tapi sekarang rupanya sudah ditiru oleh para remaja...jadi inget kata2 favorit saya dalam blog ini ... "MIRIS"

    BalasHapus
  5. @acilong: lah? Brarti keprihatinan kita sama kawan.. Mreka lbh milih pke potensi otot drpd potensi otak

    @ bang todi: wah yg jd fav. Kq kta miris? Ws nek gt tiap post tak ksh kata miris deh byr laku *lho? Ntr bs2 q jd "the father of miris"

    BalasHapus
  6. orang tua selalu menganggap anak yang 'bandel' adalah akibat pergaulan diluar rumah >>> perilaku orang tua yang NORMAL menurut si Coelho :D

    yahh,. ternyata gak semua yang normal itu baik *lhoh*

    BalasHapus
  7. @ arma: nahloh... normal2an lagi nih,,, *kegalauan abnormal

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menata hati itu...

" ___________ "

Candu