Postingan

Menampilkan postingan dari Oktober, 2012

Kau tak se tak kuat yang kau, aku, dia, kami, mereka duga.

Kau tak se tak kuat yang kau pikir kawan. Lihat. Kau tegap. Kepalamu pun tersangga dengan mantap. Punggungmu masih jejag menentang arus.Tungkai tungkai mu pun tak lunglai di hentak rotasi cepat dunia. Lihat. Pikirkanlah. Masihkah kau merasa kau lemah? Kawan. Kau ingat mereka ber dua. Mereka yang tertawa saat pertama kau menangis. Mereka yang tertawa dalam peluh penuh kelegaan. Mereka yang memanggil kita, aku, kamu mereka dengan sebuah doa. Sebuah doa yang akhirnya terucap tiap kita dipanggil. Doa penuh keyakinan. Doa penuh harapan. Ya. Nama kita. Setiap sebutnya adalah doa. Harapan yang dititipkan. Harapan yang dipercayakan. Harapan yang menguatkan. Mereka menguatkanmu sejak kau tak mampu membeda warna. Mereka menguatkanmu sejak kau rapuh terjatuh untuk menjejak. Mereka melatihmu,Dengan kata sederhana. Dengan laku yang biasa. Dengan pikir yang lumrah. Tapi tanyakanlah apakah mereka menganggapmu lemah? Tak akan. Mereka membentuk sebuah extravagant dari yang biasa. Kamu. Extravaga

Oyasumi no jikan

Telah habis masa berlaku mu untuk ada. Dan kini saat mu untuk menyandarkan punggungmu. Mencoba sedikit memejamkan sebagian mata mu. Namun tetap terjaga. Tapi ingat, kali ini waktumu telah habis. Tak usah resah. Tak perlu ragu. Kau masih terjaga kan? Pastikan itu Terpejam dan terjagalah. Karena kelak akan datang lagi saat kau ku bangunkan. Bangun. Menggeliat meregangkan urat otot abstrakmu. Mengerjap segala remang di tubuhmu. Mendesiskan sedap getarmu. Saat itu kuijinkan kau menggenggam kendali atas nya. Yaa..Boleh lah kau suruh dia apapun. Aku tak keberatan. Setidaknya kau bisa buat dia mencecap tetes tetes nira duniamu. Tapi jangan terlalu lama, kau tahu dia tak terlalu siap untuk mabuk lagi. Setidaknya itu menurutku. Jadi ingat, aku mengawasimu. Ya ya ya.. aku tahu kala itu. Saat dia berusaha menampung dan mengendapkan semuanya. Bukan hanya dia,kau juga. Mengakulah. Luckily, kau sadar. Dia masih belum perlu itu. Kini Terpejam dan terjagalah. Tetaplah seperti itu, dan t

Dan 7 jam itu...

Diawali dengan berangkat dari sebuah kota kecil bergapura cukup baru. Diiringi deru lalu lalang sekitar di kanan kiri. Mulai yang berkaki 2 hingga ber roda 18. Sungguh 7 jam itu cukup singkat. Hmm..hmm.. Sudah...Sudah.. Tak usah kau tanya lah apakah itu berkesan atau tidak. Tak perlu kau tarik kencang saraf penasaranmu untuk tau apakah yang terjadi di 7 jam itu. 7 jam yang singkat. Jangan kau tanya mengapa, kau tau jawaban ku atas itu cuma ada 2: 1. Aku serahkan jawabannya pada imajinasi terliarmu 2. Terkadang sesuatu tak akan terasa menarik lagi jika terpaparkan, rahasia dan misteri menimbulkan happy curiosity dan mystical shiver disaat yang bersamaan. Trust me itu terasa lebih "feel" dari sebuah pemaparan dsn narasi. Oke.. i'll let you know something.. Sebagian dari seorang SaYa ada padaku, sebagian dari aku pun ada pada saya. Aku yang tak mau mengkhianati sahabatnya,SaYa. SaYa yang mulai mencium gelagat perihal pemikiran dan asa dari Aku . Bedanya adalah, sebu

Jangan dicampur. Jangan dibentur.

Think globally but act locally. Saya nggak tau siapa yang memulai propaganda paradigma itu. Yang menjadikan kalimat itu booming sampai sering disebut di seminar seminar pengembangan karakter dan pelatihan pelatihan diberbagai cluster masyarakat. Dan saya juga sempat heran kenapa saya dulu oke oke aja dan "nguntal" mentah-mentah statement itu tanpa tendeng aling-aling. Dan setuju setuju saja. Dan berpikir "oh iya ya,keren. Emang mestinya gitu". Dan akibatnya segala pemikiran lokal saya anggap kuno, jadul, ga relevan, dll sampe ke alasan alasan yang berbau emosional seperti ga asik & ga keren. Jujur dah. Yang ada, setelah dikasih cekokan cekokan kalimat itu mayoritas berpikir seperti yang saya pikirkan diatas. Berpikir bahwa think locally itu makruh atau bahkan ada yang menganggap itu mendekati haram. Dan menurut saya itu lumayan aneh, mendekati bodoh. Oke, kita emang hidup di zaman yang serba berbau global. Dari globalisasi sampe global tv. Global tok pokoke

Pendidik - UKG - Pembinaan berkelanjutan

Reformasi pendidikan. Hal itulah yang agaknya -secara implicit- berusaha di lancarkan oleh para petinggi,pejabat,wakil rakyat, menteri, dll yang tentunya bekerja -cari nafkah- di bidang pendidikan. Berbagai wacana silih berganti dilontarkan kepada publik dan mayoritas ditindak lanjuti sehingga menjadi bermacam peraturan, sistem, dan kebijakan -yang bijak menurut mereka-. Semua semata dengan alasan perbaikan mutu pendidikan. Semua lapisan dan sektor pun digarap, dirombak, ditata ulang, diperbaharui degan alasan mengikuti perkembangan Jaman. Barang produk lama yang dianggap tak gesit lagi untuk sekedar berjalan beriringan dengan si Jaman di revisi -prakteknya di pinggirkan ke pelosok-. Sektor peserta didik dan tenaga pendidik pun tak luput dari itu, terutama si tenaga pendidik. Wacana vonis pensiun dini bagi yang tak sanggup lagi berlari pun merebak, dan "ting-tong" berbuah kebijakan. Sempat bernafas lega karena akhirnya kesejahteraannya "dilirik" lagi oleh Pak A

Pembenahan itu harus dibenahi (pemikiran tentang Sistem "Kejar Setoran" di sekolah-sekolah menengah menjelang UN)

Sistem pengajaran disekolah -dalam hal ini saya menyorot SMP/SMA- itu lebih menjurus ke mencegah daripada mengobati. Jangan bertanya kenapa, karena ini bukan sesi tanya jawab. Dan jangan mengajukan interupsi, karena saya bukan dan atau belum merupakan "Penduduk Jabatan" yang bisa di interupsi. Saya lebih superior dari itu. Saya Homo Sapiens bin Hayyawan Natiq. Lanjut. Didapati oleh saya, fenomena yang nggak sesuai dengan nasihat pendidik. Dalam hal ini ucapan "jangan pake sistem kebut semalam,belajarlah sedikit-sedikit setiap hari." Ucapan itu, saudara pelotot layar sekalian, adalah berbau nggak sinkron sama apa yang dipraktekkan sekolah kepada muridnya. Sekali lagi, jangan keburu bertanya atau anda akann bernasib layaknya Musa (Nabi A.S) saat bertemu Khidir (Nabi A.S). Tenang saya tidak se-pongah itu mengaku setara dengan beliau. Ini cuma analogi kawan. Cerdaslah, kau manusia. Oke?

Jalan Yang damai, jalan yang benar.

Saat win-win solution -jalan tengah- dijadikan standar akan sesuatu yang bernama lengkap kebenaran, saat itulah titik awal ketidak benaran mulai membibit. Dan percayalah, tak perlu pupuk untuk membuatnya berbuah dengan penuh pahit-getir nya walau penuh akan pemanis dimuka. Manusia adalah makhluk eksklusif,menurut isi tengkorak saya. Kerentanan dan kerapuhan manusia dalam menghadapi gesekan -bahkan dari sesamanya- itulah yang membuat saya berpendapat seperti itu. Ibarat orang mau nonton bola, kalo boleh milih -gratis tentunya- antara kelas ekonomi,suporter, dan eksklusif atau VIP maka mayoritas akan memilih yang terakhir. Sekali lagi ini dari sudut pandang isi kepala saya. Kenapa? Karena kenyamanan. Karena tak nyaman bersenggolan. Takut disakiti,tersakiti,dan menyakiti. Takut disenggol,tersenggol,dan menyenggol. Lebih baik sendiri,aman.

Kelucuan birokrasi pelayanan umum

Lucu sekali. Sangat. Saat para "penduduk" kekuasaan dengan lantang dan "tegas" -menurut mereka- berkoar tentang kemudahan akses pelayanan umum, ternyata prakteknya di lapangan sangat mengundang gelak tawa dan senyum. Gelak tawa karena menyaksikan betapa tidak sinkronnya tulisan yang tercantum dan praktik yang terlaksana. Serta senyum nyinyir penuh pahit getir melihat yang seharusnya berhak menikmati "kemudahan" administrasi pelayanan umum harus terseok-seok dan pontang-panting untuk menikmati "kemudahan" yang sangat mudah itu. Ironis bukan? Bagi saya, sangat ironis! Bahkan lebih mudah untuk ngurus administrasi sewa kamar di "Hotel 3 Jam-an" & wisma-wisma lokalisasi. Tinggal Check-in,masuk,puas,pulang,lemas. Mungkin aparat negara cukup studi banding ke hotel atau wisma2 tersebut, daripada rekreasi ke luar negeri dengan kedok kunker. Toh sama sama berbau "dosa" kan? Setidaknya yang pertama lebih hemat. Hemat uang dan tenag

Hierarki ~> Jabatan ~>………(kotor/bersih/etc.)

Senior-junior, ke-kasta-an,dll. Itu semua real dalam hidup -setidaknya dari sudut pandang manusia yang belum ngerti "hakikat" dan "ilmu ma'rifat"- bahwa di alam ini ada jenjang,ada pemisah antar manusia dengan sesamanya. Ada jurang pembeda sehingga membuat kita harus pandai menentukan pandangan dengan memilih memandang dengan "ndangak" atau memandang dengan "ndilek". Walaupun semua orang tahu dan sering dengar ditengah-tengah kantuk dan tidurnya dalam sebuah pengajian bahwa ustadz, kyai, dan segala macam sebutan kedudukan/jabatan dibidang agama itu sering berkhotbah bahwa manusia itu sama-sejajar-lurus di hadapan sang pencipta. Walaupun semua orang sudah tau -dan cukup muak serta sangsi- kalau para pengacara dan para praktisi dan komentator hukum sering berkata baik dengan menggebu atau pun dengan setengah "nyengir" bahwa semua sama dimata hukum. Itupun kalau hukum kita masih punya mata.