Kelucuan birokrasi pelayanan umum

Lucu sekali. Sangat.
Saat para "penduduk" kekuasaan dengan lantang dan "tegas" -menurut mereka- berkoar tentang kemudahan akses pelayanan umum, ternyata prakteknya di lapangan sangat mengundang gelak tawa dan senyum. Gelak tawa karena menyaksikan betapa tidak sinkronnya tulisan yang tercantum dan praktik yang terlaksana. Serta senyum nyinyir penuh pahit getir melihat yang seharusnya berhak menikmati "kemudahan" administrasi pelayanan umum harus terseok-seok dan pontang-panting untuk menikmati "kemudahan" yang sangat mudah itu. Ironis bukan? Bagi saya, sangat ironis! Bahkan lebih mudah untuk ngurus administrasi sewa kamar di "Hotel 3 Jam-an" & wisma-wisma lokalisasi. Tinggal Check-in,masuk,puas,pulang,lemas. Mungkin aparat negara cukup studi banding ke hotel atau wisma2 tersebut, daripada rekreasi ke luar negeri dengan kedok kunker. Toh sama sama berbau "dosa" kan? Setidaknya yang pertama lebih hemat. Hemat uang dan tenaga. Tentu, selama ngambil paket 3jam atau yang short time.


Ah, saya melebar lagi..

Oke, langsung ke contoh kasus terbaru dan ter-nyata yang saya lihat dan dengar dengan 2 receiver pemberian Tuhan YME. Mata & Telinga.

Dikisahkan ada sebuah keluarga yang kurang mampu disuatu daerah di sebelah selatan kota yang terkenal akan wisata religinya serta nama perusahaan semen dan pupuk nya. Suatu hari, anak mereka, usia 5 tahun, terjatuh dari pohon. Sempat mengalami pingsan ditempat sehingga hatus segera dibawa ke unit pelayanan kesehatan setempat. Puskesmas,tentunya. Dengan meminta tolong tetangga yang punya bronpit, dibopongnya anak itu. Sampai di Puskesmas, ternyata harus segera dilarikan ke UGD RSUD "Garawesi" dengan apa? Tiket ambulan puskesmas seharga Rp 200.000,00. Pertanyaannya -pertanyaan orang awam (saya)- jarak puskesmas ke RS sekitar 30menit perjalanan, itupun tanpa sirine. Bahan bakar pulang pergi pun nggak sampe 50.000. Ongkos supir? Astaghfirullah, bukankah mereka dibayar oleh negara? Perawatan mobil? Itupun masuk anggaran negara dan atau daerah. Perawatan si anak? Kenyataannya saat dinaikkan ke mobil lain -mobil tetangganya-, pasien hanya dibekali infus! Betapa Jancuk Keparat (aparat) Puskesmas itu.

Okeh,akhirnya dengan naik mobil tetangga, sampai juga di RSUD kota "Garawesi". Masuk UGD, dapet perawatan dan lain-lain. Sampai akhirnya diminta untuk foto rontgen. 700 ribu men! Dan akhirnya keluarga memilih membawa pulang pasien. "Dirawat dirumah" katanya.

Sempat terpikir -pemikiran awam tentunya- apakah mereka ndak punya jamkesmas? Apakah biaya rontgen masuk jamkesmas? Jawabannya, mereka nggak punya jamkesmas. Nggak bisa ngurus jamkesmas tepatnya. Mengapa? Karena nggak punya Kartu Keluarga. Tanpa kartu keluarga, si anak ndak bisa dapet jamkesmas. Kenapa ga punya kartu keluarga? Karena ternyata untuk bisa punya kartu keluarga harus B-A-Y-A-R. Rp 25.000,00. Entah uang 25.000 itu buat apa. Buat biaya cetak surat? AsTaghfirullah sesuatu kalo iya. Toh sepengetahuan saya -pengetahuan & logika orang awam- itu udah masuk biaya pengeluaran rutin pemerintah bukan? Lha kalo ternyata biayanya masuk ke kantong KEPARAT (Aparat) ya masyaallah. Juancuk sekali itu.

Nah, kita bayangin aja, kalau cuma buat ndaftarin keluarga mereka -terutama golongan kurang mampu- yang jelas jelas lahir-tumbuh-terlentang-tengkurep-bergumul dan tumpang tindih di tanah air ini, bahkan dari tampangnya pun sudah jelas terdefinisikan dan terdeskripsikan secara significant kalo mereka 120% orang endonesa, pun mereka harus bayar biar diakui status keluarganya. Lantas gimana dengan Pelayanan yang lain? Yang basic aja udah basin gini prakteknya.

Dan Insyaallah, jika terus seperti ini, 10 tahun lagi -mungkin kurang- Unit2 Pelayanan Masyarakat akan jadi Unit Pelayatan Masyarakat.
posted from Bloggeroid

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menata hati itu...

" ___________ "

Candu