Pendidik - UKG - Pembinaan berkelanjutan

Reformasi pendidikan.
Hal itulah yang agaknya -secara implicit- berusaha di lancarkan oleh para petinggi,pejabat,wakil rakyat, menteri, dll yang tentunya bekerja -cari nafkah- di bidang pendidikan. Berbagai wacana silih berganti dilontarkan kepada publik dan mayoritas ditindak lanjuti sehingga menjadi bermacam peraturan, sistem, dan kebijakan -yang bijak menurut mereka-. Semua semata dengan alasan perbaikan mutu pendidikan.

Semua lapisan dan sektor pun digarap, dirombak, ditata ulang, diperbaharui degan alasan mengikuti perkembangan Jaman. Barang produk lama yang dianggap tak gesit lagi untuk sekedar berjalan beriringan dengan si Jaman di revisi -prakteknya di pinggirkan ke pelosok-. Sektor peserta didik dan tenaga pendidik pun tak luput dari itu, terutama si tenaga pendidik. Wacana vonis pensiun dini bagi yang tak sanggup lagi berlari pun merebak, dan "ting-tong" berbuah kebijakan.

Sempat bernafas lega karena akhirnya kesejahteraannya "dilirik" lagi oleh Pak APBN -pemenuhan anggaran 20% yang berlanjut pada "sertifikasi"-, kini tenaga pendidik -beberapa- kembali dibuat mandi keringat dingin atas bergulirnya peraturan uji kompetensi guru (UKG). Yap, guru pun kena UN juga akhirnya. Dan yang namanya ujian pasti ada lulus dan tidak lulus. Kompensasinya, yang lulus gaji tetap mulus dan yang tak lulus bisa sampai pensiun dini yang otomatis kena potong jatah fulus.

Beragam reaksi dan respon meruak kepermukaan. Baik yang pro maupun yang kontra kebijakan, baik lewat jejaring dunia maya maupun lewat aksi demo yang nyata. Yang pro beranggapan kalau ujian itu perlu dan merupakan sebuah keniscayaan, seperti halnya UN bagi peserta didik. Bahkan ada kelakar kalau sangatlah wajar siswa takut pada UN, toh guru nya saja kalang kabut dengar ada UKG. Yang kontra beranggapan itu terlalu berlebihan dan dianggap bukan melakukan pembenahan melainkan upaya penghematan anggaran.

Hemat saya, Kalau mau meninjau ulang, pembenahan belum perlu ujian. Toh saat ujian sertifikasi-pun buktinya -sekarang- banyak yang ga lulus. Kalau tetap dilakukan pun, berarti bisa diasumsikan kalau para "pembuat kebijakan" belum belajar dari fakta di lapangan. Dan fakta di lapangan berkata pendidik perlu pembinaan berkelanjutan, belum untuk ujian.

Pembinaan berkelanjutan meliputi banyak faktor pula tentunya, seperti pembinaan kemampuan pedagogik maupun pendalaman materi. Yang perlu digaris bawahi-cetak tebal,dan cetak miring, adalah berkelanjutan! Berarti program pembinaan yang berjangka,terstruktur,dan terencana. Simpel nya macam program repelita-pelita nya orde pak harto.

Dan maaf, anda akan bikin saya ketawa terpingkal kalo setelah baca ini, anda mendadak berpikiran "ni orang bisanya ngomong doank, coba dia di posisi mereka, bisa ga tuh?pasti ga bisa". Demi tuhan saya akan ketawa. Mengapa? Mengutip kata sudjiwo tejo di akun twitternya "bedakan antara praktisi dan pengamat cuk, IQ mu kelas melati cuk"

Pemerintah pun terkesan timpang sebelah. Mengapa? Kalau pemerintah dengan penuh percaya diri berkoar melaksanakan UKG, pertanyaanya, apakah pegawai negeri non-guru juga diberi ujian kompetensi pula? Dan yang aneh lagi, mengapa juga tak ada ujian untuk polisi,TNI, bahkan untuk anggota dewan. Itu juga kalau memang dari awal tujuan UKG memang untuk mengukur kompetensi, bukan karena ketidak relaan untuk memberi gaji profesional bagi para guru.

Teman saya -pengajar SD- pernah curcol pada saya. Dia berkata, "opo'o seh nek gajine guru dimundakno titik ae mesti onok ae ulahe pemerintah. Sing tes lah,sing opo lah. Tapi pegawai lain e? Ga tau krungu aku nek PNS sing duduk guru atek tes ujian. Pemerintah iki kok yo cek nemen e."

posted from Bloggeroid

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menata hati itu...

" ___________ "

Candu