Jalan Yang damai, jalan yang benar.
Saat win-win solution -jalan tengah- dijadikan standar akan sesuatu yang bernama lengkap kebenaran, saat itulah titik awal ketidak benaran mulai membibit. Dan percayalah, tak perlu pupuk untuk membuatnya berbuah dengan penuh pahit-getir nya walau penuh akan pemanis dimuka.
Manusia adalah makhluk eksklusif,menurut isi tengkorak saya. Kerentanan dan kerapuhan manusia dalam menghadapi gesekan -bahkan dari sesamanya- itulah yang membuat saya berpendapat seperti itu. Ibarat orang mau nonton bola, kalo boleh milih -gratis tentunya- antara kelas ekonomi,suporter, dan eksklusif atau VIP maka mayoritas akan memilih yang terakhir. Sekali lagi ini dari sudut pandang isi kepala saya. Kenapa? Karena kenyamanan. Karena tak nyaman bersenggolan. Takut disakiti,tersakiti,dan menyakiti. Takut disenggol,tersenggol,dan menyenggol. Lebih baik sendiri,aman.
Sifat awal itulah yang akhirnya menimbulkan istilah "kebijakan jalan tengah". Yap, beramai ramai dalam semua forum rapat baik rapat nyata ataupun maya, online ataupun offline, rapat insidentil cangkruk kopi sampai rapat terstruktur Hotel berbintang, semuanya mulai mendewakan win-win solution, jalan tengah, jalan damai, jalan aman, jalan yang bebas akan gesekan-gesekan yang melumpuhkan syaraf sensori seluruh tubuh dan melemparkan tubuh ini menggelepar gelepar mencari pegangan. Dan kita, mulai samar melihat & mengingat apa yang sebenarnya "benar" dan dimana seharusnya kita "Jalan".
Apakah kedamaian lebih utama ketimbang kebenaran? Saya tak tahu. Yang jelas saya pun merasa seringkali tak ubahnya seperti kuda berkacamata, yang tak bisa tahu kiri kanan, cuma bisa lihat kedepan -ke tengah- jalan tengah. Dan jujur, itu sering. Sering sekali.
Dan kini itu membuat saya berpikir kalau "jalan damai -jalan tengah- belum tentu benar, jalan benar pun banyak yang nggak damai"
Dan yang terbaik sementara ini adalah
"Jalan benar yang damai".
Dan sebuah jalan benar yang damai tidak butuh tetek bengek kompromi serta lobby-lobby, tak perlu pula serangkaian kompensasi. Tanpa semua itu pun Dia akan mampu membuat pelakunya memuncak dalam ekstasi dalam usaha menuju yang hakiki.
Manusia adalah makhluk eksklusif,menurut isi tengkorak saya. Kerentanan dan kerapuhan manusia dalam menghadapi gesekan -bahkan dari sesamanya- itulah yang membuat saya berpendapat seperti itu. Ibarat orang mau nonton bola, kalo boleh milih -gratis tentunya- antara kelas ekonomi,suporter, dan eksklusif atau VIP maka mayoritas akan memilih yang terakhir. Sekali lagi ini dari sudut pandang isi kepala saya. Kenapa? Karena kenyamanan. Karena tak nyaman bersenggolan. Takut disakiti,tersakiti,dan menyakiti. Takut disenggol,tersenggol,dan menyenggol. Lebih baik sendiri,aman.
Sifat awal itulah yang akhirnya menimbulkan istilah "kebijakan jalan tengah". Yap, beramai ramai dalam semua forum rapat baik rapat nyata ataupun maya, online ataupun offline, rapat insidentil cangkruk kopi sampai rapat terstruktur Hotel berbintang, semuanya mulai mendewakan win-win solution, jalan tengah, jalan damai, jalan aman, jalan yang bebas akan gesekan-gesekan yang melumpuhkan syaraf sensori seluruh tubuh dan melemparkan tubuh ini menggelepar gelepar mencari pegangan. Dan kita, mulai samar melihat & mengingat apa yang sebenarnya "benar" dan dimana seharusnya kita "Jalan".
Apakah kedamaian lebih utama ketimbang kebenaran? Saya tak tahu. Yang jelas saya pun merasa seringkali tak ubahnya seperti kuda berkacamata, yang tak bisa tahu kiri kanan, cuma bisa lihat kedepan -ke tengah- jalan tengah. Dan jujur, itu sering. Sering sekali.
Dan kini itu membuat saya berpikir kalau "jalan damai -jalan tengah- belum tentu benar, jalan benar pun banyak yang nggak damai"
Dan yang terbaik sementara ini adalah
"Jalan benar yang damai".
Dan sebuah jalan benar yang damai tidak butuh tetek bengek kompromi serta lobby-lobby, tak perlu pula serangkaian kompensasi. Tanpa semua itu pun Dia akan mampu membuat pelakunya memuncak dalam ekstasi dalam usaha menuju yang hakiki.
posted from Bloggeroid
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapus